KRISTUS YANG BANGKIT DALAM KEHIDUPAN
Dalam kuliah yang bertema
“Kristus Yang Bangkit Dalam Kehidupan”, perhatian akan dipusatkan pada diri
Kristus yang bangkit karena kebangkitan-Nya menjadi sendi utama agama Katolik. “Andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka
sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah kepercayaan kamu… dan kamu masih
hidup dalam dosamu.” (1 Kor 15:14.17)
Tujuan :
Yang mau dicapai dalam kuliah ini adalah agar
para mahasiswa mengetahui bahwa kebangkitan Kristus merupakan inti iman.
Kebangkitan Kristus itu merupakan jaminan bahwa
apa yang Ia wartakan itu benar adanya. Yesus mewartakan bahwa Allah
sedemikian mencintai manusia, sehingga
hubungan antara Allah dan manusia digambarkan sebagai hubungan bapa dengan
anaknya, sehingga Allah menjadi Bapa bagi umat manusia. Tidak semua orang percaya akan pewartaan-Nya,
dan mereka yang tidak percaya membunuh-Nya. Kehidupan adalah milik manusia yang
paling berharga, dan untuk pewartaan-Nya, Yesus sampai harus menyerahkan hidup-Nya. Kehidupan Yesus telah
menjadi jaminan untuk apa yang diajarkan-Nya. Namun Allah telah
membangkitkan-Nya dari antara orang mati.
Relevansi terhadap tujuan
Sekali lagi dalam kuliah ini
dinamika kehidupan direnungkan kembali. Kehidupan tidak hanya berhenti pada
kematian. Ada
hidup baru setelah kehidupan di dunia ini, dan kematian merupakan awal dari
kehidupan yang baru, kehidupan yang bahagia di rumah Bapa. Kehidupan baru itu
tidak hanya diwartakan atau diajarkan, tetapi dialami sendiri oleh seseorang,
yakni Yesus Kristus sendiri. Dinamika kehidupan itu tidak hanya berperan sampai pada saat kematian. Dinamika itu
merasuk ke dalam hidup dan mengubah
manusia dalam mengenal dirinya dan dalam menjalin hubungannya dengan dirinya,
sesamanya, dunianya, dan dengan Yang Ilahi sendiri.
Kebangkitan Kristus
Kerap kali kita mendapat
kesan bahwa pengajaran agama Katolik lebih menekankan hidup dan
sengsara Kristus sebagai tebusan untuk
dosa-dosa kita. Sekarang ini tekanan bergeser pada kebangkitan Kristus sebagai
pusat iman. Pergeseran ini terjadi antara lain karena penyilidikan
mutakhir Perjanjian Baru menemukan bahwa kebangkitan menjadi awal kisah penyelamatan.
Pelaksanaan hukuman mati seperti
dialami oleh Yesus kerap kali terjadi.
Tiga orang yang dihukuman mati pada hari yang kita sebut sebagai hari Jumat
Agung, tergolong biasa. Mereka itu adalah
orang-orang pembuat onar dan pengganggu ketentraman. Tetapi penguasa
Roma memasang tulisan di atas kepala salah seorang hukuman itu : “Raja Orang
Yahudi”. Dia yang di atas kepala-Nya tercantum
tulisan itu kisah-Nya masih berlanjut. Dia diberitakan bangkit dari mati
dan dialami lagi sebagai yang hidup di antara kenal-kenalan-Nya.
Pengalaman kebangkitan itu
ternyata telah membuat orang-orang yang dekat dengan-Nya itu mampu menafsir
kembali pengalaman mereka katika masih bersama Dia.
Hai orang-orang Israel
dengarkanlah perkataan ini : Yang aku
maksudkan, ialah Yesus dari Nazareth, seorang yang telah ditentukan Allah dan
dinyatakan kepadamu dengan kekuatan-kekuatan dan mujizat-mujizat dan
tanda-tanda yang dilakukan oleh Allah dengan perantaraan Dia di tengah-tengah
kamu seperti yang kamu tahu. Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan
rencana-Nya, telah kamu salibkan dan
kamu bunuh dengan tangan bangsa-bangsa durhaka. Tetapi Allah
membangkitkan Dia dengan melepaskan Dia dari sengsara maut karena tidak mungkin Ia tetap berada
dalam kuasa maut itu….
Yesus inilah yang dibangkitkan Allah, dan tentang hal itu kami semua
adalah saksi. Jadi seluruh kaum Israel harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus yang kamu salibkan
itu menjadi Tuhan dan Kristus. (Kis 2:22-24,32,36)
Bahkan Paulus secara lebih jelas
mengatakan bahwa kebangkitan itu merupakan pusat dan hal yang sangat
penting bagi iman Kristen. “Tetapi andaikata Kristus tidak
dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah kepercayaan
kamu.” (1 Kor 15:14).
Dengan pernyataan itu hilanglah
kekaburan tentang hidup dan kematian
Yesus. Karena pengaruh kuat kebangkitan itu semua menjadi jelas. Untuk pertama
kalinya para rasul memandang tokoh Yesus dengan mantap dan pasti. Dia adalah
Kristus yang terurapi, yang berasal dari Allah. Dia adalah Anak Manusia, Anak
Daud, Sang Sabda. Pada permulaannya gelar itu hanya bersifat fungsional, yaitu
menggambarkan begitu saja apa yang diperbuat oleh Yesus. Di kemudian hari gelar
itu dipakai untuk memuji-Nya, merupakan sapaan untuk menghormati-Nya di dalam
ibadat. Gelar itu menunjukkan secara
hakiki siapakah Dia. Gelar itu meringkas apa artinya menjadi Kristen, yakni
mengakui bahwa Yesus adalah Tuhan.
BERBAGAI MACAM TAFSIR DALAM
PERJANJIAN BARU
Yesus mewahyukan diri-Nya sebagai
Putra Allah. Atas dasar alasan itu, hidup dan mati-Nya di dunia ditentukan. Dia
dibunuh karena itu : “Kami mempunyai
hukum dan menurut hukum itu Dia harus mati, sebab Dia menganggap diri-Nya
sebagai anak Allah.” (Yoh 19:7). Yesus sendiri mengalami diri-Nya bahwa
Allah begitu dekat dengan diri-Nya, Dia mengenal Allah dari dalam, Allah disadari sebagai yang hidup di dalam
diri-Nya. Untuk kenyataan itu Dia mengajarkan kepada manusia untuk menyapa
Allah sebagai Bapa, Allah menjadi Bapa bagi Yesus, dan dengan demikian juga menjadi Bapa bagi kita semua.
Orang-orang yang menerima, mengimani, dan mengalami-Nya, kemudian selalu terdorong untuk mencari ungkapan agar pengalaman itu juga menjadi pengalaman orang-orang yang ditemui, yang
hidup dan bergaul dengan mereka. Setiap orang terdorong untuk
mengungkapkan kenyataan agung ini,
pengalaman pribadi dan latarbelakang budayanya mempengeruhi ungkapan itu.
Perjanjian Baru ditulis dengan
latarbelakang budaya yang berbeda-beda. Karena itu muncullah wawasan teologi
yang berbeda-beda pula dalam merumuskan siapakah itu Yesus. Memang, semuanya
tak lepas dari pengalaman Paskah karena pengalaman itu menjadi dasar setiap
pengalaman dan pewartaan terntang Yesus. Pengalaman kebangkitan Yesus membuat
para murid-Nya, orang-orang-Nya semakin diteguhkan dalam menerima pewartaan Yesus, bahwa Allah
hidup di dalam Diri-Nya.
Sejak peristiwa kebangkitan,
Gereja senantiasa bergulat untuk mencari ungkapan yang semkin tepat untuk pengalaman dengan Yesus itu. Dia diberi
berbagai gelar, diberi berbagai sebutan diuraikan dalam rumusan-rumusan dogma
supaya pengalaman bersatu dengan Allah
itu juga semakin dapat dimengerti.
Budaya yang melatarbelakangi
Perjanjian Baru sangatlah kaya, sebegitu kayanya sehingga tak mudah memahami
bagaimana tepatnya pengalaman dengan Yesus itu dihayati dan diungkapkan. Secara
sederhana, coba diuraikan di sini bagaimana pengalaman dengan Yesus itu diungkapkan dalam beberapa Jemaat.
Jemaat Palestina
Jemaat Palestina merupakan jemaat
yang paling dekat dengan hidup, sengsara, wafat dan kebangkitan Yesus. Di dalam
jemaat itu terdapat kesadaran yang kuat bahwa Yesus segera datang lagi. Yesus
adalah Putra Manusia (Kis 7:55-56 : Tetapi
Stefanus, yang penuh dengan Roh Kudus, menatap ke langit, lalu melihat
kemuliaan Allah dan Yesus berdiri di sebelah kanan Allah. Lalu katanya :
“Sungguh, aku melihat langit terbuka dan Anak
Manusia berdiri di sebelah kanan
Allah.”) yang akan datang lagi dengan
kekuasaan dan kemuliaan. Ini sesuai dengan kata-kata Yesus sendiri
mengenai Putra Manusia. ( “Sebab barangsiapa malu karena Aku dan
karena perkataan-Ku di tengah-tengah
angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu
karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya,
diiringi malaikat-malaikat kudus.”
Mrk 8:38; “Aku berkata kepadamu : Setiap orang yang mengakui Aku di depan
manusia; Anak Manusia juga akan
mengakui dia di depan mmalaikat-malaikat Allah. Tetapi barangsiapa menyangkal
Aku di depan manusia, ia akan disangkal di depan malaikat-malaikat Allah.
Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni; tetapi barangsiapa menghujat Roh
Kudus, ia tidak akan diampuni.” – Luk 12:8-10). Kedatangan kembali Yesus
itu akan menjadi jaminan atas semua yang Dia katakan dan lakukan selama
hidup-Nya.
Atas pertanyaan siapakah Kristus,
jemaat Palestina memberikan sumbangan
dengan pernyataan bahwa Yesus adalah Kristus, atau Messiah yang artinya “Yang
diurapi” (“…. Agar Tuhan mendatangkan
waktu kelegaan dan mengutus Yesus, yang dari semula dituntukkan bagimu sebagai Kristus.” – Kis 3:20).
Karena Dia Messiah, Dia juga adalah Anak Daud, dan Anak Allah. (“Lalu
berkatalah seorang dari tua-tua itu kepadaku: ‘Jangan engkau menangis! Sesungguhnya singa dari suku Yehuda, yaitu
tunas Daud, telah menang, sehingga Ia dapat membuka gulungan kitab itu dan
membuka ketujuh meterainya” – Why 5:5;
“Ia akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi.
Dan Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya : takhta Daud, bapa
leluhur-Nya” – Luk 8:32). Diperlukan silsilah Yesus sampai ke Daud karena
dari keturunan Daud akan ada yang
diberkati pada massa Messiah
tersebut : “Diberkatilah kerajaan
yang datang, kerajaan Bapa kita Daud, hosana di tempat yang mahatinggi.” –
Mrk 11:10). Gelar Putra Allah merupakan gelar
yang menyatakan kedekatan Yesus dengan Bapa-Nya.
Dalam Perjanjian Lama, banyak
orang memperoleh gelar anak Allah. “Maka engkau harus berkata kepada Firaun :
Beginilah firman Tuhan : Israeil ialah anakKu, anakKu yang sulung; sebab itu Aku berfirman
kepadamu : biarkanlah anakKu itu pergi, supaya ia beribadah kepada-Ku;
tetapi jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan membunuh anakmu,
anakmu yang sulung.” Kel 4:22-23; “Ketika Israel masih muda, Kukasihi dia,
dan dari Mesir Kupanggil anakKu itu.” –
Hos 11:1; “Sungguh Aku mau
menempatkan engkau di tengah-tengah anakKu dan memberikan kepadamu negeri yang indah,
milik pusaka yang paling permai dari bangsa-bangsa.” – Yer 3:19. Gelar anak Allah pada awalnya memiliki makna dekatnya seseorang dengan Allah, baru
kemudian pada waktu orang beriman hidup
dalam kebudayaan Yunani, gelar itu menunjukkan bahwa yang menyandang gelar itu
memiliki sifat Ilahi.
Jemaat Yahudi – Yunani
Jemaat Yahudi – Yunani terdiri
dari orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani yang bertobat dan menjadi
Kristen. Mereka harus menterjemahkan istilah-istilah Palestina agar dapat
dimengerti oleh dunia Yunani. Kedatangan kembali Yesus tidak segera dialami.
Maka terjadilah pergeseran perhatian dari kedatangan Yesus kembali di masa yang
akan datang ke keadaan Yesus sekarang sebagai yang dimuliakan. Yesus adalah
Tuhan (Kyrios) dan Kristus ( “Jadi
seluruh kaum Israel
harus tahu dengan pasti, bahwa Allah telah membuat Yesus yang kamu salibkan
itu, menjadi Tuhan dan Kristus.” –
Kis 2:36) karena sekarang Dia
sudah dimuliakan di sebelah kanan Allah.
“Akan tetapi di antara mereka ada beberapa orang Siprus dan orang Kirene
yang tiba di Antiokia dan berkata-kata juga kepada orang-orang Yunani dan
memberitakan Injil, bahwa Yesus
adalah Tuhan.” – Kis 11:20;
….. dan segala lidah mengaku : “Yesus Kristuus adalah Tuhan.”
– Fil 2:11. Dalam menggunakan gelar
Tuhan, mereka yang berbahasa Yunani lebih memperjelas kedudukan Ilahi Yesus karena istilah itu merupakan istilah
yang dipergunakan di dalam Perjanjian Lama yang berbahasa Yunani untuk
menterjemahkan istilah Yahudi yang sama
artinya dengan Yahwe. Jadi gelar Kristus, Putra Allah, Anak Manusia, Putra
Daud, lebih dimengerti oleh jemaat Yahudi – Yunani. Jemaat ini juga kemudian
menerapkan gelar ini untuk kehidupan
Yesus selama masih di dunia. “tentang
anakNya, yang menurut daging diperanakan dari keturunan Daud, dan menurut Roh
kekudusan dinyatakan oleh kebangkitanNya
dari antara orang mati, bahwa Ia adalah Anak Allah yang berkuasa, Yesus Kristus Tuhan kita.” –
Rm 1:3-4)
Jemaat Yunani – buka Yahudi
Dalam perkembangannya Gereja
masuk ke dalam budaya campuran antara budaya Yunani dan bukan Yahudi. Dengan
demikian, cara berpikir yang berada dalam budaya itu mempengaruhi Gereja juga.
Hal itu terjadi karena pewartaan Paulus dan aliran Teologi Yohanes. Gereja
mempergunakan alam pikiran Yunani untuk pewartaannya. Ungkapan klasik mengenai
hal ini tercantum dalam surat
Paulus kepada jemaat di Filipi. “Hendaklah
kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga di
dalam Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan
telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan
menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah
merendahkan diriNya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.
Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia, dan mengaruniakan kepadaNya nama
di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus, bertekuk lutut segala yang ada di
bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi
kemuliaan Allah Bapa!” – Fil 2:5-11.
Dari Filipi 2:5-11 dapat kita
lihat bahwa kosmologi Yunani memiliki tiga tingkat: langit, yang di atas bumi,
dan yang di bawah bumi (ayat 10). Sesuai dengan kosmologi Yunani itu, maka ada
tiga macam keberadaan Yesus: sebelum lahir (ayat 6), menjadi daging dalam
penjelmaan (ayat 7-8), dan pemuliaanNya setelah hidup di dunia (10-11). Bentuk
yang mirip dengan ini dapat ditemukan di
dalam Injil Yohanes 1:1-7.14.
Siapakah Yesus? Jawaban atas
pertanyaan ini menjadi sangat lengkap pada zaman budaya campuran Yunani – bukan
Yahudi ini : kehidupan Yesus di dunia ini sesungguhnya merupakan sebuah kehidupan yang mulia, nampaknya saja terselubung. Di
dalam Injil Sinoptik (Injil Matius, Lukas dan Markus) hal ini nampak dalam kisah Kanak-Kanak Yesus, dalam kisah pembaptisan
Yohanes dan dalam pemuliaan Yesus di atas gunung. “Dan Yesus makin bertambah besar dan bertambah hikmatNya dan
besarNya, dan makin dikasihi oleh Allah dan manusia.” – Luk 2:52; “Ketika
seluruh orang banyak itu telah dibaptis
dan ketika Yesus juga di baptis dan sedang berdoa, terbukalah langit dan
turunlah Roh Kudus dalam rupa burung merpati ke atasNya. Dan terdengarlah suara
dari langit : “Engkaulah anak yang Kukasihi, kepadaMulah Aku berkenan.”
– Luk 3:21-22; Luk 9:28-36 berceritra
tentang Yesus dimuliakan di atas gunung.
IMAN MENGUBAH MANUSIA
Manusia dan keadaannya
Manusia yang direnungkan dalam
kuliah agama ini adalah manusia yang mempunyai kemampuan dasar dan yang
mempunyai hubungan dasar. Mempunyai yang
dimaksudkan di sini adalah bahwa dia
mempunyai secara mendasar. Terdapat pengertian yang berbeda yang terkandung di
dalam kata mempunyai. “Simanjuntak mempunyai buku” berbeda makna dengan
“Simanjuntak mempunyai otak”.
Dalam kalimat pertama seandainya
Simanjuntak tidak mempunyai buku, Simanjuntak masih dapat menyebut dirinya
sebagai (seorang) Simanjuntak. Tetapi di dalam kalimat kedua, tidaklah
demikian. Dalam kalimat kedua, pengertian ‘mempunyai’ itu menyangkut diri
Simanjuntak secara mendasar. Kalau otak itu tidak dimiliki Simanjuntak,
Simanjuntak tidak dapat menjalani hidup sebagai manusia. Dalam pengertian seperti terkandung di dalam kalimat kedua
itulah kata ‘mempunyai’ dipergunakan dalam uraian ini.
A. Manausia Mempunyai Tiga Kemampuan Dasar
Bila di sini dipergunakan istilah
manusia, maka manusia yang dimaksudkan adalah manusia yang mempunyai kemampuan dasar. Kemampuan
dasar itu adalah kemampuan berpikir, berkehendak dan bertindak.
A.1. Kemampuan untuk Berpikir
Manusia mempunyai pikiran. Dengan
pikiran memungkinkan manusia mampu mengerti, mampu bertanya, dan mencari
jawabannya; dengan pikiran manausia mencari kebenaran, kemampuan untuk
menerangkan, menguraikan alasan-alasan, memilah-milah dan membeda-bedakan.
Kemampuan berpikir disebut juga akal budi. Dengan akal budi manusia berusaha untuk mencari kebenaran.
A.2. Kemampuan untuk Berkehendak
Manusia mempunyai kehendak.
Dengan kehendak manusia mampu menginginkan dan berkemauan. Dengan kemampuan ini
manusia menginginkan kebaikan. Manusia dapat memilih, menolak, mencintai, membenci,
tersentuh, terharu, mengambil keputusan, termasuk keputusan mengenai dirinya
sendiri. Dengan kemampuan ini manusia mampu mengembangkan perasaan,
keinginannya, budi pekertinya, dan semua
yang menyangkut hatinya.
A.3. Kemampuan untuk Bertindak
Manusia mempunyai kemampuan untuk
bertindak, beraksi. (Kata aksi
berasal dari kata bahasa Latin : actio,
yang diturunkan dari kata agere yang
berarti berbuat).
Manusia selalu berusaha agar
tindakannya didasarkan atas pikirannya yang benar dan kehendaknya yang baik.
Tindakan yang didasarkan atas pikiran yang benar dan kehendak yang baik itu
disebut bijaksana.
B. Manusia Mempunyai Hubungan Dasar
Selain memiliki kemampuan dasar,
manusia juga memiliki hubungan dasar. Hubungan dasar itu adalah hubungan dengan
dirinya sendiri, dengan sesamanya, dengan yang ilahi, dan dengan dunia.
YANG ILAHI
|
|
DUNIA <————————— AKU
—————————> SESAMA
|
|
DIRI SENDIRI
B.1. Hubungan Manusia Dengan
Diri Sendiri
Dengan mempunyai hubungan dengan
diri sendiri, manusia dapat memberikan dan menentukan namanya, dapat berpikir
tentang dirinya sendiri. Manusia juga dapat mengambil keputusan untuk dirinya
sendiri. Ini adalah hubungan antara “aku”
dengan “aku” –ku.
B.2. Hubungan Manusia Dengan Sesamanya
Manusia juga dapat memiliki
hubungan dengan orang lain yang memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri,
tetapi karena bukan dirinya sendiri maka disebutnya se- “sama”. Sesama itu disebutnya “engkau”,
“dikau”
B.3. Hubungan Manusia Dengan Dunia
Manusia juga memiliki hubungan
dengan dunia, hubungan dengan sesuatu di luar dirinya dan sesamanya. Ketika
bertemu dengan dunia, manusia mengatakan itu “aku – yang – tidak – mengaku –
dirinya seperti - aku – mengaku – diriku.”
4. Hubungan Manusia Dengan Yang Ilahi
Manusia juga mengalami hubungan
dengan yang bukan dirinya, bukan sesamanya, dan bukan dunia. Dalam lubuk hati
manusia ada sebuah kerinduan yang mendalam untuk berdoa, untuk menyerahkan diri
kepada Yang Mahaagung, Hakim, Yang Mahaadil, Yang mengatasi segalanya, tak
dapat dipahami secara tuntas, tetapi yang dialami sebagai yang berperan di dalam kehidupan manusia. Dia disapa dengan
berbagai sebutan : Pencipta, Penyelamat, Penyelenggara. Tetapi Dia lebih
daripada sebutan-sebutan mengenai diriNya.
IMAN AKAN KRISTUS YANG BANGKIT MENGUBAH MANUSIA
Bila manusia beriman, apakah
peranan iman itu di dalam kehidupan manusia? Apa pengaruh iman terhadap
kemampuan dasar dan hubungan dasarnya?
1. Iman Dan Kemampuan Dasar Manusia
Manusia mempunyai kemampuan untuk
berpikir. Kemampuan itu dipergunakan untuk mencari kebenaran. Apa itu
kebenaran? Itulah pertanyaan yang selalu muncul dalam pikiran manusia. Manusia
beriman akan selalu berusaha untuk mencari kebenaran. Ketika manusia sedang
berusaha mencari kebenaran, Sang Kebenaran/Allah sendiri datang kepada manusia
untuk memenuhi kerinduan manusia akan
kebenaran itu. Allah datang dalam diri Yesus Kristus yang mengatakan : “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.”
(Yoh 14:6). Dengan demikian tidak sia-sia manusia mencari kebenaran. Sang
Kebenaran yang dicarinya telah terlebih dahulu mencari manusia, bahkan Dia
datang dengan sendiri menjadi manusia/Allah yang menjadi manusia
(inkarnasi/penjelamaan).
Dia, Sang Kebenaran Sejati,
ketika bertemu dengan manusia sebagai Manusia, mengundang manusia dengan
berkata: “Ikutlah Aku” (Mat 4:19 : “Yesus
berkata kepada mereka : “Mari ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala
manusia.”; Mrk 1:17 : “Yesus berkata
kepada mereka : “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
; Luk 5:27 : ”Kemudian, ketika Yesus pergi ke luar, Ia melihat seorang pemungut
cukai, yang bernama Lewi, sedang duduk di rumah cukai. Yesus berkata kepadanya
:”Ikutlah Aku.”; Yoh 1:43 : “Pada
keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea , Ia
bertemu dengan Filipus, dan berkata kepadanya : “Ikutlah Aku.”
Maka orang-orang yang percaya
mengambil keputusan untuk mengikuti Dia. Pengambilan keputusan itu dilakukan
dan manusia mampu melakukan itu karena dia mempunyai kemampuan untuk
berkehendak.
Bila manusia telah menerima Yesus
sebagai Sang kebenaran, kemudian telah pula mengambil keputusan untuk mengikutiNya, maka manusia akan menata
tingkah lakunya sesuai dengan kehendak Sang Kebenaran Sejati itu, karena Dia
berkata : “Aku berkata kepadamu :
Sesungguhnya barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan melakukan juga
pekerjaan-pekerjaan yang Aku lakukan, bahkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih
besar daripada itu.” (Yoh 14:12)
Demikianlah beriman berarti
berubah. Dia tidak hanya menjadi pencari kebenaran, tetapi juga menemukan Sang
Kebenaran itu. Dia tidak hanya menghendaki
yang baik, tetapi menerima Sang Kebenaran itu sebagai yang baik. Manusia dengan kemampuan
berkehendaknya telah mengambil keputusan
untuk mengikutiNya, dan dengan kemampuan bertindak, manusia telah
melakukan apa yang diperintahkan oleh Sang Kebenaran itu.
2. Iman akan Kebangkitan dan Hubungan Dasar Manusia
2.1. Perubahan pada Hubungan Manusia dengan Yang Ilahi
Sang Kebenaran yang diterima itu
mengajar manusia tentang kehidupan, karena itu Dia juga dipanggil sebagai Sang Guru (Yoh 3:2), “Ia (Nikodemus) datang pada waktu malam
kepada Yesus dan berkata : “Rabi, kami tahu, bahwa Engkau datang sebagai guru
yang diutus Allah; sebab tidak ada seorangpun yang dapat mengadakan tanda-tanda
yang Engkau adakan itu, jika Allah tidak menyertainya.”). Salah satu hal
yang penting yang dikatakan adalah bahwa
Dia mengajar manusia untuk menyapa Allah sebagai Bapa. Dengan demikian, Allah
tidak hanya menjadi Yang Ilahi atau Pencipta saja, Dia Yang Mahaagung itu rela
dihubungi sebagai Bapa bagi manusia.
Maka Yesus mengajar doa Bapa kami (Mat 6:9-13; Luk 11:2-4) Hubungan dengan
Allah seperti layaknya hubungan ayah yang baik
terhadap anak-anaknya, itu juga merupakan kerinduan manusia, sehingga
Yohanes menulis : “Tuhan, tunjukkan Bapa
itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami.” (Yoh 14:8).
Jadi perubahan pada hubungan
manusia dengan Yang Ilahi, adalah manusia menyapa Yang Ilahi dengan seruan
Bapa. Dengan menyapa Allah sebagai Bapa, manusia menjadi baru, yakni menjadi
anak-anak Allah. “Semua orang yang
dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah. Sebab kamu tidak menerima Roh perbudakan
yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang
menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru ‘Ya Abba, ya Bapa!”
(Rm 8:14-15.
Dengan menjadi anak Allah, kita
adalah ahli waris. ”Dan karena kamu
adalah anak, maka Allah telah menyuruh Roh anakNya ke dalam hati kita, yang
berseru : “Ya Abba, ya Bapa!” Jadi kamu bukan lagi hamba, melainkan anak;
jikalau kamu anak, maka kamu juga adalah ahli-ahli waris, oleh Allah.” (Gal
4:6). Itulah perubahan dalam hubungan manusia dengan Yang Ilahi.
2.2. Perubahan pada Hubungan Manusia dengan Dirinya Sendiri
Iman akan Kristus yang bangkit
juga mengubah manusia dengan diringan sendiri. Dia tidak hanya memandang
dirinya sebagai ciptaan atau sebagai hamba, dia tidak melihat dirinya sebagai
budak, dia adalah anak Allah Dia memiliki harga diri baru. Hal ini yang membuat
manusia menyadari diri secara baru sebagai anak Allah. Karena manusia adalah
pitra-putri Allah maka ia memiliki martabat yang luhur, manusia adalah mahkota
ciptaan. Allah menghormati manusia dengan menjadi manusia sebagai putra dan
putriNya, maka dari pihak man usia dituntut untuk menghargai dirinya sendiri
dan saling menghargai di antara sesama manusia, dan terutama menghormati
Penciptanya.
3.3. Perubahan pada Hubungan Manusia dengan
Dunia.
Sebelum iman disadari sebagai daya yang mengubah manusia, manusia
memandang dirinya sebagai ciptaan. Tetapi dengan menyadari harga dirinya yang
baru, manusia tidak hanya menjadi ciptaan. Dia adalah anak Allah, Sang
Pencipta. Manusia boleh menyebut dirinya Anak Sang Pencipta yang dipanggil
untuk ikut menciptakan dunia ini.
Manusia adalah rekan Pencipta, dan
Pencipta itu adalah Bapanya sendiri. Dunia ini diserahkan kepada manusia agar
manusia ikut menciptakannya, mengolahnya, menjaga keutuhannya sehingga dapat
menjadi tempat yang semakin pantas dihuni oleh manusia yang memiliki harga diri baru, yaitu menjadi
anak-anak Allah. Maka manusia tidak dapat berdiam diri saja melihat bumi
menjadi gersang, menjadi tercemar, menjadi rusak. Manusia dipanggil oleh
Bapanya untuk menciptakan agar menjadi
subur. Manusia tidak dapat bediam diri saja, bila melihat manusia lain membuat
bumi menjadi rusak. Manusia adalah makluk yang dipercaya untuk meneruskan karya
penciptaanNya. Sebelum Kristus datang Allah telah mempercayakan bumi ini kepada
manusia dengan berkata : “Beranak cuculah
dan bertambah banyak, penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas
ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi.” (Kej 1:28).
Kedatangan Kristus memberi perintah baru, yaitu bahwa manusia dipanggil untuk
menjadikan bumi yang baru di mana Allah berkemah dan diam bersama-sama manusia.
“Lalu aku melihat langit yang baru dan
bumi yang baru, sebab langit yang pertama dan bumi yang pertama telah berlalu, dan lautpun tidak ada lagi. Dan aku
melihat kota yang kudus, Yerusalem yang baru turun dari sorga, dari Allah, yang
berhias bagai pengantin perempuan yang
berdandan untuk suaminya. Lalu aku mendengar suara yang nyaring dari takhta itu
berkata : “Lihatlah kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Dia akan diam
bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umatNya. Dan Dia akan menjadi
Allah mereka. Dia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada
lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang
lama itu telah berlalu.” – Wahyu 21:1-4. Karena kedatangan Kristus manusia
mendapat perintah baru, yaitu mengerjakan bumi ini sedemikian sehingga semakin
pantas dikatakan bahwa Allah hadir di dalamnya.
Demikianlah iman mengubah
manusia, sehingga manusia menjadi baru, seperti dikatakan oleh Paulus : “Jangan lagi kamu saling mendustai, karena
kamu telah meninggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan
manusia baru yang terus menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang
benar menurut gambar Khaliknya; dalam hal ini tidak ada lagi orang Yunani atau
orang Yahudi, orang bersunat atau tidak bersunat, orang Barbar atau orang Skit,
budak atau orang merdeka. Tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala
sesuatu.” – Kolose 3:10-11.
Menentukan Sikap
Hidup ini dapat dijalani dengan
sikap optmis atau sikap pesimis. Kaum pesimis berpendapat bahwa hidup ini tidak
bermakna, tanpa tujuan, penuh derita dan kesengsaraan, menyedihkan dan
sia-sia. Kaum optimis berpendapat
sebaliknya. Bahwa hidup ini baik, penuh arti, sarat akan makna yang indah.
Kebangkitan Kristus adalah sumber dan dasar bagi setiap sikap optimis itu.
Kematian yang merupakan keadaan yang paling menyedihkan bagi manusia, dapat
memiliki makna, kematian bukan sebuah akhir, melainkan awal dari sebuah
kehidupan yang baru bersama Bapa di sorga.
Sikap optimis memungkinkan
manusia untuk berharap dan berusaha agar hari ini lebih baik dari hari kemarin,
dan hari esok lebih baik dari hari ini. Atas dasar pandangan ini, manusia berusaha untuk meningkatkan kualitas hidupnya
sendiri maupun sesamanya.
No comments:
Post a Comment